Bukan
malam. Ini sepertiga malam.
Bukan
pagi. Ini pagi yang gelap.
Jadi,
inilah pagi di malam hari.
Dengan
sayap satu, sayap dua, sayap tiga, sayap empat, sayap lima, atau bahkan ribuan
sayap malaikat turun ke bumi. Bisa dirasakan betapa dinginnya pagi di malam
hari ini. Aku merasakan hal itu, tapi kedinginan itu membuat mataku ingin terus
terbuka. Karena aku harus melihat itu…
Wanita
itu…
Wanita
yang selalu ada di mimpiku. Wanita yang selalu menghantui tidurku. Wanita yang
aku tak tahu siapa dia. Wanita yang selalu buatku gelisah. Wanita yang terasa
dekat denganku, tapi aku tak tahu bagaimana dia. Wanita yang buat jantungku
berdetak lebih kencang.
Ahh…!!!
Umurku yang tua ini, memang seharusnya sudah berkeluarga. Entahlah, apa yang
membuat diriku terus-terusan menunda. Walaupun sebenarnya, aku tak pernah
menuntut banyak hal, aku hanya ingin wanita yang setia.
Aku
ingin segera berkeluarga, tapi bayangan wanita itu selalu menghantui. Serba
salah. Terpikir olehku untuk mencari wanita itu. Dengan cara apa? Bodoh sekali
aku, buat apa aku mencari dia, aku saja tak tahu dia seperti apa, namanya
siapa, bagaimana wajahnya, aku sama sekali tak tahu. Hanya ada satu hal yang
aku tahu, dia berjilbab.
Dadaku
semakin sesak. Wanita itu telah menghancurkan hidupku. Karena dia, aku tak
segera berkeluarga.
Suasana
Boscha semakin ramai. Aku benci hal itu.
Sekumpulan
himpunan mahasiswa astronomi (aku melihatnya dari jaket lapangan yang mereka
pakai), sekumpulan orang-orang dewasa (entahlah dari mana, yang jelas mereka
kumpulan yang paling heterogen, karena dari remaja sampai orang yang sudah tua
ada di kumpulan itu). Ada beberapa sekumpulan kecil orang dan mungkin hanya aku
yang sendiri.
Yupsss…
Aku jauh-jauh dari Kota Gudeg datang ke Kota Kembang hanya untuk melihat Ison.
Tertarik dengan dunia astronomi? Sebenarnya tidak, aku hanya tertarik dengan
ison. Kapan lagi aku bisa melihat komet dalam hidupku? Kesempatan emas tak
pernah datang untuk kedua kalinya.
Ini
hari terakhir sekaligus kesempatan terakhir aku melihat ison, sebenarnya udah
seminggu aku di Kota Kembang, tapi selama ini aku belum berhasil melihat ison.
Semoga hari ini aku beruntung.
Langit
lembang bagaikan lukisan alam. Jutaan bintang beraksi, menampilkan semua sinar
yang mereka miliki. Indah, benar-benar indah. Ini pertama kalinya aku melihat
langit yang begitu luar biasa cantiknya.
“Jundi,
Rizky, Rendy, siap-siap ya…” terdengar suara wanita, suara itu…
Aku
pun langsung mencari pemilik suara wanita itu. Boscha benar-benar gelap, aku
susah melihat wajah orang, semua hitam.
“Putri,
Elma, Fitri, kalian juga siap-siap…” suara wanita itu terdengar lagi. Suara itu
terdengar lebih dekat dari suara yang pertama. Tak salah lagi, dia ada di dekat
sini.
Mana?
Mana wanita itu? Aku seperti anak kecil yang kebingunan mencari ibunya. Aku
seperti orang gila. Hanya karena suara, aku bisa seperti ini. Arghhh!!!!
Bodohnya diriku. Belum tentu pemilik suara itu adalah wanita itu. Tapi
entahlah, hati kecilku mengatakan dialah orangnya, jantungku terus berdetak
lebih kencang. Panas dingin di suasana yang begitu dingin. Kakiku tak bisa
berhenti mencari pemilik suara itu.
Hingga
akhirnya, pencarian dihentikan. Suara adzan shubuh berkumandang.
Beberapa
saat kemudian, aku dan orang-orang siap melihat keindahan ison. Rasanya tak
sabar melihat ison secara langsung. Tapi yang lebih penasarannya lagi, siapa
pemilik suara itu. Diam-diam, aku terus melangkah, mencari pemilik suara itu.
Terpikir olehku, dia adalah salah satu dari sekumpulan himpunan mahasiswa
astronomi.
“Komet
ison!!!” terdengar teriakan yang aku tak tahu dari mana sumber suara itu.
Benar
saja. Komet ison itu terlihat oleh bola mataku sendiri. Ini benar-benar asli.
Aku sempat tak mempercayainya, setelah sekian lama menunggu menyaksikan komet
ison, akhirnya waktu ini tiba juga.
“Komet
ison, betapa cantiknya kau…” kataku dengan suara lirih.
Aku
abadikan komet ison dalam kameraku. Aku tak boleh ketinggalan. Hahaha… aku bisa
pamerkan ini pada teman-teman kantorku. Aku puas bisa melihat ison, ini
kebanggan tersendiri buat hidupku. Sekali dalam seumur hidup.
Dengan
perlahan Sang Fajar menampakkan jati dirinya. Boscha tak segelap sepertiga
malam. Aku bisa melihat wajah semua orang. Saatnya berburu wanita pemilik suara
itu. Aku dengan sengaja mendekatkan diri dengan sekumpulan himpunan mahasiswa
astronomi. Kulihat semua wanita yang ada disana. Tak ada wanita yang membuat
jantungku berdetak. Tak adakah wanita itu?
“Ini
tehnya,” suara wanita itu. Aku pun langsung mencari sumber suara itu. Wanita
pemilik suara itu berjalan mendekati sekumpulan himpunan mahasiswa astronomi.
Jantungku langsung berdetak sangat kencang. Nafasku terasa berat. Ahh… masih
zamankah, deg-degan gara-gara cinta?
“Makasih
Khansa,” kata salah satu temannya.
Nama
dia Khansa.
Hai,
Ison! Aku menemukan wanita itu di sini. Wanita yang terus-terusan menganggu
hidupku. Wanita yang kucari-kucari dan akhirnya aku menemukannya. Ison, tanpamu
aku tak mungkin bisa menemukan dia.
Wahai
bidadari bernama Khansa, maukah kau menjadi tulang rusukku?
-thd-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar